Demokrasi terus bergulir, yakni ditengarai dengan
pilkada yang dilaksanakan di penjuru tanah air, tak ketinggalan pula di Negeri
Serumpun Sebalai, satu tujuan yakni mencari pemimpin. Restrukturisasi
dan estafet kepemimpinan adalah sunnatullah di suatu negeri. Mari kita
cermati ajaran Rasul kita :“Sayyidul Qoum Khoodimuhum” – (Pemimpin
adalah Pelayan untuk Rakyatnya). Demikian bunyi sebuah hadits tentang
sebuah prinsip yang sangat mendasar mengenai kepemimpinan dalam ajaran Islam
yang terlupakan.
Tentu saja terlupakan, bahkan terasa ‘asing’ bagi
kebanyakan telinga orang. Sebab bukankah yang berlaku dimana-mana justru malah
sebaliknya, pemimpin yang minta dilayani? Bagi kebanyakan, pemimpin identik
dengan kekuasaan (tahta) identik dengan kekayaan (harta) dan identik dengan
kesenangan (wanita).
Dalam sejarah Islam, pemimpin jauh dari
menumpuk-numpuk harta. Justru sebaliknya. Ketika Abubakar RA diangkat menjadi
Khalifah, seluruh hartanya diserahkan ke Baitul Mal (Kas
Negara/Pemerintah). Ketika Umar RA diangkat menjadi Khalifah, separoh
hartanya diserahkan ke Baitul Mal. Ketika Utsman RA diangkat menjadi khalifah,
entah berapa ribu unta lengkap dengan peralatan perangnya yang sudah diserahkan
ke Baitul Mal.
Bagaimana dengan Nabi Muhammad?
Beliau adalah pengusaha muda kaya yang beristerikan
isteri yang kaya raya pula. Tetapi setelah menjadi Nabi, beliau sering ’unplanned
fasting’ alias puasa sunnah yang sama sekali tidak direncanakan sebelumnya.
Beliau puasa sunnah karena tidak mendapatkan makanan untuk sarapan pagi. Masya
Allah …
Pada saat Raja Persia, Raja Romawi bahkan Raja Habsyi
pengikut Injil yang mengakui kenabian Muhammad semuanya tidur di atas kasur
empuk di dalam kamar yang bisa jadi dikipasi dayang-dayang cantik jelita,
Rosulullah tidur di lantai beralaskan tikar keras dan kasar yang meninggalkan
bekas di kulit tangannya, yang menyebabkan hati Abu Bakar RA miris dan menangis
karenanya.
Begitulah sifat zuhud alias kesederhanaan luar biasa
yang ditunjukkan orang-orang shalih zaman dulu, sebelum dan sesudah mereka
diangkat menjadi pemimpin.
Pemimpin adalah pengabdian. Ketika Umar RA dalam
penyamarannya di malam hari mendapatkan sebuah rumah yang penghuninya
kelaparan, beliau memanggul sendiri makanan dan mengirimkannya ke rumah
keluarga itu.
Mereka justru menjadi miskin setelah menjadi pemimpin?
‘Ya’ dalam penampakan dunia. Tetapi ‘tidak’ dalam pandangan agama.
Sebab justru para pemimpin seperti itulah yang akan
kaya-raya di akhirat nanti. Atas dasar keyakinan bahwa ‘harta yang dimiliki’
yang akan dijumpai lagi di akhirat, adalah harta yang sudah diserahkan ke
Sabilillah. Adapun selainnya, bukan miliknya, melainkan milik ahli warisnya.
Siapa memerlukan siapa? Apakah pemimpin yang
memerlukan ummat, atau justru sebaliknya ummat yang memerlukan pemimpin?
Sabda Nabi, barangsiapa kaum yang mengangkat
pemimpinnya ‘ala fiqhin atau atas dasar kefaqihan (profesional &
religius), maka akan ‘hidup’ pemimpin, dan ‘hidup’ pula kaum: hayatan
lahu walahum. Sebaliknya, barangsiapa kaum yang mengangkat pemimpinnya ‘ala
ghoiri fiqhin atau bukan atas kefaqihan (tidak profesional &
religius), maka akan ‘rusak pemimpin’, dan rusak pula kaum: halaka lahu
walahum.
Jadi jelas atas dasar hadits itu, bahwa kaumlah yang
memerlukan pemimpin. Bukan sebaliknya.
Istilah ‘pelayan ummat’ sebetulnya bukan barang baru
di alam demokrasi. Di Amerika Serikat, Pemerintahan President Obama, misalnya,
disebut ‘President Obama Administration’. Jadi ‘pemerintah’ itu tidak lebih
dari ‘administratur’. Disana, Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut ‘Civil
Servant’ alias ‘pelayan sipil’. Di sana pula, rakyat bisa memaki-maki para
pejabat dan pegawai pemerintahan dengan mengatakan “I am tax payer” – aku
pembayar pajak yang dipakai untuk menggaji kalian! Maka jangan berbuat
macam-macam kepada kami yang menggaji kalian. Begitu kira-kira bahasanya jika
tanpa tedeng aling-aling.
Pemimpin yang profesional dan religius adalah
yang dapat melaksanakan 4 sifat pemimpin shalih berikut:
- Shidik alias jujur atau dalam terminologi manajemen modern disebut ‘integritas’. Berkata apa adanya. Tidak mengada-ada. Baik dikatakan baik, buruk dikatakan buruk. Berpegang teguh dengan value system alias nilai-nilai.
- Amanah alias dapat dipercaya alias tidak khianat atau terminologi manajemen modern disebut ‘transparan’. Tidak mengkhianati ummat yang telah memilihnya. Tidak mangkir dari tugas. Tidak KKN (korupsi-kolusi-nepotisme).
- Tabligh alias menyampaikan kebenaran atau dalam konteks terminologi manajemen modern disebut ‘komunikatif’. Berbicara langsung dan mendengarkan suara grassroot, alias lapisan ummat paling bawah. Tanpa perantara.
- Fathonah alias cerdas atau dalam terminologi manajemen modern disebut ‘work-smart’. Segala jenis pluralisme dan heterogenitas dihadapi dengan sikap wasathon umama alias ummat yang tengah yang dapat diterima semua pihak.
Tapi bagaimana kalau sebaliknya? sungguh mengerikan,
ini adalah ‘lingkaran syetan’ atau lebih tepat disebut ‘lingkaran iblis’ akibat
calon pemimpin membagi-bagikan uang atau dalam bentuk natura seperti sembako, sound
system, karpet, dlsb. Tujuannya untuk apa lagi kalau bukan supaya ummat
memilihnya sebagai pemimpin.
Disebut ‘lingkaran iblis’ karena tiga hal:
- Untuk calon pemimpin, jika menang, akan menjadi pemimpin dengan biaya ‘modal’ yang sangat besar yang tidak mungkin ‘kembali modal’ kecuali harus melakukan mega-korupsi;
- Untuk calon pemimpin, jika kalah, akan menjadi pecundang yang ketahuan ketidak-tulusannya ketika memberi; karena tidak sedikit yang kemudian tega-teganya menarik kembali pemberiannya;
- Untuk ummat, memilih pemimpin karena imbalan dalam bentuk uang atau bentuk natura lainnya adalah pelanggaran terhadap dalil memilih pemimpin atas dasar kefaqihan; dan itu adalah rasuah, suap.
Pantas, sabda Nabi halaka lahu walahum – rusak
pemimpin dan rusak kaum.
Oleh : Ari Sriyanto, S.Pd.I
Guru PAI SMA Negeri 4 Pangkalpinang
**Sudah dimuat di Bangka Pos Sabtu 20-10-2012**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar