Seni Kreatif

14 Maret 2013

Mencari Pemimpin yang Profesional dan Religius



Demokrasi terus bergulir, yakni ditengarai dengan pilkada yang dilaksanakan di penjuru tanah air, tak ketinggalan pula di Negeri Serumpun Sebalai, satu tujuan yakni mencari pemimpin. Restrukturisasi dan estafet kepemimpinan adalah sunnatullah di suatu negeri. Mari kita cermati ajaran Rasul kita :“Sayyidul Qoum Khoodimuhum”(Pemimpin adalah Pelayan untuk Rakyatnya). Demikian bunyi sebuah hadits tentang sebuah prinsip yang sangat mendasar mengenai kepemimpinan dalam ajaran Islam yang terlupakan.
Tentu saja terlupakan, bahkan terasa ‘asing’ bagi kebanyakan telinga orang. Sebab bukankah yang berlaku dimana-mana justru malah sebaliknya, pemimpin yang minta dilayani? Bagi kebanyakan, pemimpin identik dengan kekuasaan (tahta) identik dengan kekayaan (harta) dan identik dengan kesenangan (wanita).

Dalam sejarah Islam, pemimpin jauh dari menumpuk-numpuk harta. Justru sebaliknya. Ketika Abubakar RA diangkat menjadi Khalifah, seluruh hartanya diserahkan ke Baitul Mal (Kas Negara/Pemerintah). Ketika Umar RA diangkat menjadi Khalifah, separoh hartanya diserahkan ke Baitul Mal. Ketika Utsman RA diangkat menjadi khalifah, entah berapa ribu unta lengkap dengan peralatan perangnya yang sudah diserahkan ke Baitul Mal.
Bagaimana dengan Nabi Muhammad?
Beliau adalah pengusaha muda kaya yang beristerikan isteri yang kaya raya pula. Tetapi setelah menjadi Nabi, beliau sering ’unplanned fasting’ alias puasa sunnah yang sama sekali tidak direncanakan sebelumnya. Beliau puasa sunnah karena tidak mendapatkan makanan untuk sarapan pagi. Masya Allah …
Pada saat Raja Persia, Raja Romawi bahkan Raja Habsyi pengikut Injil yang mengakui kenabian Muhammad semuanya tidur di atas kasur empuk di dalam kamar yang bisa jadi dikipasi dayang-dayang cantik jelita, Rosulullah tidur di lantai beralaskan tikar keras dan kasar yang meninggalkan bekas di kulit tangannya, yang menyebabkan hati Abu Bakar RA miris dan menangis karenanya.
Begitulah sifat zuhud alias kesederhanaan luar biasa yang ditunjukkan orang-orang shalih zaman dulu, sebelum dan sesudah mereka diangkat menjadi pemimpin.
Pemimpin adalah pengabdian. Ketika Umar RA dalam penyamarannya di malam hari mendapatkan sebuah rumah yang penghuninya kelaparan, beliau memanggul sendiri makanan dan mengirimkannya ke rumah keluarga itu.
Mereka justru menjadi miskin setelah menjadi pemimpin? ‘Ya’ dalam penampakan dunia. Tetapi ‘tidak’ dalam pandangan agama.
Sebab justru para pemimpin seperti itulah yang akan kaya-raya di akhirat nanti. Atas dasar keyakinan bahwa ‘harta yang dimiliki’ yang akan dijumpai lagi di akhirat, adalah harta yang sudah diserahkan ke Sabilillah. Adapun selainnya, bukan miliknya, melainkan milik ahli warisnya.
Siapa memerlukan siapa? Apakah pemimpin yang memerlukan ummat, atau justru sebaliknya ummat yang memerlukan pemimpin?
Sabda Nabi, barangsiapa kaum yang mengangkat pemimpinnya ‘ala fiqhin atau atas dasar kefaqihan (profesional & religius), maka akan ‘hidup’ pemimpin, dan ‘hidup’ pula kaum: hayatan lahu walahum. Sebaliknya, barangsiapa kaum yang mengangkat pemimpinnya ‘ala ghoiri fiqhin atau bukan atas kefaqihan (tidak profesional & religius), maka akan ‘rusak pemimpin’, dan rusak pula kaum: halaka lahu walahum.
Jadi jelas atas dasar hadits itu, bahwa kaumlah yang memerlukan pemimpin. Bukan sebaliknya.
Istilah ‘pelayan ummat’ sebetulnya bukan barang baru di alam demokrasi. Di Amerika Serikat, Pemerintahan President Obama, misalnya, disebut ‘President Obama Administration’. Jadi ‘pemerintah’ itu tidak lebih dari ‘administratur’. Disana, Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut ‘Civil Servant’ alias ‘pelayan sipil’. Di sana pula, rakyat bisa memaki-maki para pejabat dan pegawai pemerintahan dengan mengatakan “I am tax payer” – aku pembayar pajak yang dipakai untuk menggaji kalian! Maka jangan berbuat macam-macam kepada kami yang menggaji kalian. Begitu kira-kira bahasanya jika tanpa tedeng aling-aling.
Pemimpin yang profesional dan religius adalah yang dapat melaksanakan 4 sifat pemimpin shalih berikut:
  1. Shidik alias jujur atau dalam terminologi manajemen modern disebut ‘integritas’. Berkata apa adanya. Tidak mengada-ada. Baik dikatakan baik, buruk dikatakan buruk. Berpegang teguh dengan value system alias nilai-nilai.
  2. Amanah alias dapat dipercaya alias tidak khianat atau terminologi manajemen modern disebut ‘transparan’. Tidak mengkhianati ummat yang telah memilihnya. Tidak mangkir dari tugas. Tidak KKN (korupsi-kolusi-nepotisme).
  3. Tabligh alias menyampaikan kebenaran atau dalam konteks terminologi manajemen modern disebut ‘komunikatif’. Berbicara langsung dan mendengarkan suara grassroot, alias lapisan ummat paling bawah. Tanpa perantara.
  4. Fathonah alias cerdas atau dalam terminologi manajemen modern disebut ‘work-smart’. Segala jenis pluralisme dan heterogenitas dihadapi dengan sikap wasathon umama alias ummat yang tengah yang dapat diterima semua pihak.
Tapi bagaimana kalau sebaliknya? sungguh mengerikan, ini adalah ‘lingkaran syetan’ atau lebih tepat disebut ‘lingkaran iblis’ akibat calon pemimpin membagi-bagikan uang atau dalam bentuk natura seperti sembako, sound system, karpet, dlsb. Tujuannya untuk apa lagi kalau bukan supaya ummat memilihnya sebagai pemimpin.
Disebut ‘lingkaran iblis’ karena tiga hal:
  • Untuk calon pemimpin, jika menang, akan menjadi pemimpin dengan biaya ‘modal’ yang sangat besar yang tidak mungkin ‘kembali modal’ kecuali harus melakukan mega-korupsi;
  • Untuk calon pemimpin, jika kalah, akan menjadi pecundang yang ketahuan ketidak-tulusannya ketika memberi; karena tidak sedikit yang kemudian tega-teganya menarik kembali pemberiannya;
  • Untuk ummat, memilih pemimpin karena imbalan dalam bentuk uang atau bentuk natura lainnya adalah pelanggaran terhadap dalil memilih pemimpin atas dasar kefaqihan; dan itu adalah rasuah, suap.
Pantas, sabda Nabi halaka lahu walahum – rusak pemimpin dan rusak kaum.



Oleh : Ari Sriyanto, S.Pd.I
Guru PAI SMA Negeri 4 Pangkalpinang
**Sudah dimuat di Bangka Pos Sabtu 20-10-2012**
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar