Luka
persalinan belum kering, jabang bayi lelap dibuainya. Diturut jejak suami
entah ke mana arah rimbanya. Kian jauh langkah disusurinya, jalan terus
membisu tak sepatah kata terlontar, sesekali terdengar sayup hela nafas
panjang nan berat sebab beban kesedihan dan derita yang terus tertahan.
Sesekali dibuka tutup wajah jabang bayi mungil tuk meredakan rasa penat dan
galau yang tak terjawabkan. Berakhir perjalanan itu di bawah sebuah pohon
rengas sekarat, seorang ayah dengan penuh haru meninggalkan istri dan bayi
merah di tengah bukit nun jauh dari kehidupan dan hanya sewadah air yang
terikat dipinggul sekedar menyambung hidup. Sang ibu yang ditinggalkan hanya
bisa pasrah menerima kenyataan. Kepasrahan yang dibalut dengan keyakinan
bahwa semua itu semata-mata lantaran suami menunaikan tugas rahasia negara
yang musti merahasiakan identitasnya dan takut akan
hiruk pikuk bejatnya dunia, ia pikir hanya cara itu agar keluarganya aman,
itulah yang mampu menumbuhkan ketabahan dan kesabaran bagi keduanya walau
deraian air mata membanjiri pipi.
Kini
semuanya telah berlalu. Bayi yang dulu menangis lantang di tengah bukit
karena kehausan kini telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang gagah dan
tampan. Hidupnya bahagia didampingi bunda tercinta, yang sesekali
ayahanda tak lupa menyambangi
keduanya.
“Wahai putraku” panggil sang ayah suatu hari, “Sekarang kamu sudah cukup
dewasa. Apakah belum terpikir olehmu untuk mencari pendamping hidup?”
sang putera diam merenungkan kata-kata ayahnya. Walaupun suatu kalimat yang
bernada pertanyaan namun sebagai seorang anak yang cerdas ia mengerti bahwa
ayahnya menginginkannya agar segera menikah. Kepatuhannya terhadap sang ayah
membuatnya tidak berpikir panjang lagi, dipinangnya seorang gadis dari
kampung seberang bukit untuk dijadikan pendamping hidupnya.
Pernikahan
sang anak dengan salah satu puteri kampung seberang pun dilangsungkan walau
ayahanda berhalangan hadir karena sedang pergi menunaikan tugas negara. Kini
sang anak mulai meniti kehidupan yang baru, ia tinggal bersama istrinya di
sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah orangtuanya.
Setelah
sekian lama, ayah pulang kembali ke rumah. Ia sangat rindu pada putranya.
Apalagi mendengar kabar bahwa putranya telah menikah. ayah ingin segera
bertemu menantunya, maka berkunjunglah ayahanda ke rumah sang putra. Siang
itu kebetulan putranya sedang keluar rumah, ayah hanya disambut oleh seorang
perempuan. Perempuan itu tidak mengenali bahwa bapak tua itu adalah ayah mertuanya.
Sebaliknya, sang ayah sudah menerka bahwa perempuan itu pasti menantunya.
“Bapak mencari siapa?” sapa perempuan itu.
“Saya ingin bertemu suamimu. Apakah dia ada di rumah?”
“Oh, suami saya? Dia sedang pergi berburu ke hutan”
“Oh iya? Kalau begitu suamimu tentu orang yang rajin bekerja dan pastilah
kamu bahagia memiliki suami seperti dia?”
Perempuan itu diam sejenak, lalu berkata, “Tadinya aku mengira akan hidup
bahagia bersamanya. Tapi ternyata, hidup kami susah, kami jarang makan,
suamiku sering pulang malam, itu pun kadang-kadang tidak membawa apa-apa.
Saya sering kesal dengan dia, setiap kali saya menuntut perbaikan ekonomi
rumah tangga, dia selalu mengatakan, “Sabar dulu ya..”. Sabar kan ada
batasnya! Yaahh.. Tak tahulah pak.. Sampai kapan kami harus menjalani hidup
susah seperti ini?” saya juga ingin seperti umumnya wanita; punya perhiasan,
pakaian bagus, dan kehidupan yang berkecukupan.” Keluhnya ke pak tua itu.
Bapak tua
itu manggut-manggut mendengar keluhan istri putranya yang sama sekali tidak
menceritakan kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama suaminya. Tidak
sedikitpun rasa syukur tercermin di dalamnya, yang ada hanyalah hawa nafsu
seorang istri yang selalu berangan-angan tinggi tanpa mengukur kemauan dan
kemampuannya. Dari situ sang ayah bisa menilai bahwa perempuan itu tidak
layak menjadi menantunya.
“Baiklah kalau begitu aku pamit dulu. Sampaikan salamku pada suamimu. Dan…
Sampaikan pesanku agar suamimu segera mengganti daun pintu rumahnya”.
“Cuma itu pak pesannya?” baik nanti ku sampaikan!” dengan nada acuh dia jawab
tanpa beban.
Tak lama
setelah bapak tua itu pergi, datanglah sang suami. Ia merasa ada seseorang
yang baru datang ke rumahnya.
“Istriku, apakah ada seseorang yang telah datang kemari?”
“Iya. Seorang laki-laki tua mencarimu”
“Lalu kau bilang apa?”
sang isteri menuturkan semua pembicaraannya dengan bapak tua tadi. Setelah
semuanya diceritakan, sang suami bertanya, “Sebelum tamu itu pulang, apa ada
pesan yang beliau katakan?”
“Dia kirim salam untukmu dan berpesan agardaun pintu rumah segera
diganti”.
Ia termenung. Ia berusaha menangkap arti semua perbincangan antara istri
dengan ayahnya, sampai tentang pesan ayahnya agar ia mengganti daun pintu
rumah. Kemudian Ia menjelaskan, “Wahai istriku, ketahuilah, laki-laki tua itu
adalah ayahku. Maksud ayah mengatakan daun pintu rumah harus diganti adalah
ayah memerintahkan agar aku menceraikanmu dan mengembalikanmu kepda
orangtuamu”.
Sang putra
pun melaksanakan pesan sang ayah. Istrinya dicerai dan diantar pulang ke rumah
orangtuanya. Setelah sekian lama bercerai, ia kembali menikah. Pernikahannya
kali ke dua pun tidak dihadiri oleh sang ayah, sehingga beliau dengan istri
baru putranya belum saling mengenal. Kepergian sang ayah cukup lama sehingga
menumbuhkan rasa rindu yang mendalam terhadap putranya.
Namun kala
itu sang ayah menyambangi putranya. Ia hanya menjumpai seorang perempuan yang
menyambutnya. Perempuan itu tidak mengenali bahwa yang datang adalah ayah
mertuanya. Sang ayah memandang perempuan itu lalu berkata dalam hati..
“Hmm..Pasti ini menantuku..”
“Silahkan pak.. Ada yang bisa saya bantu?”
“Bisakah aku bertemu suamimu?”
“Kebetulan suami saya sedang bekerja”
“Oh iya? Suamimu pasti orang yang rajin bekerja. Tentu kamu bahagia memiliki
suami seperti dia”
“Alhamdulillah saya bersyukur memiliki suami seperti dia. Orangnya rajin,
ulet, tekun dan sabar. Hidup kami serba kecukupan, tidak pernah kekurangan
makan maupun minum. Bahagia sekali saya hidup bersamanya”.
Kesyukuran seorang istri telah tergambar dari kata-kata yang diucapkannya.
Istri yang shalihat, yang selalu bersyukur dan istri yang bisa menjaga
rahasia rumah tangganya. Bahagialah sang ayah memiliki menantu yang shalihat.
“Baiklah aku pamit dulu. Semoga Allah berkenan melimpahkan rahmatNya kepada
kalian. Sampaikan salamku pada suamimu dan sampaikan pesanku agar ia tetap
merawat dan memelihara daun pintu rumahnya.
Tak lama
setelah bapak tua itu pergi, datanglah sang putra. Ia merasa ada seseorang
yang baru saja datang ke rumahnya.
“Kelihatannya ada yang baru datang ke rumah kita?”
“Iya. Tadi ada bapak-bapak tua datang kemari. Dia menanyakanmu”
“Lalu kamu bilang apa?”
sang isteri menceritakan semua perbincangannya dengan tamunya. Rasa haru
menyelimuti benak sang suami.
“Sebelum bapak tua itu pulang, apa yang dia katakan?”
“Dia kirim salam untukmu dan berpesan agar daun pintu rumah tetap dipelihara
dan dirawat”
Ia diam sejenak, lalu..
“Wahai istriku. Ketahuilah, bapak tua itu adalah ayahku. Beliau mengatakan daun
pintu rumah harus tetap dipelihara dan dirawat, artinya beliau memerintahkan
agar aku tetap melindungi dan menjagamu. Kau tetap menjadi istriku…”//
Daun Pintu
Ari Sriyanto
SMAPA
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar